xOeSJZwEqEHxAtyEgOy1ztCUdVCJP06QsbYigFCu
Bookmark

KEKINIAN GERAKAN MAHASISWA DALAM MENGAWAL ARAH BANGSA


Pendahuluan
Kemerdekaan yang diproklamasikan oleh bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945, haruslah di pertahankan dalam kehidupan berbangsa. Kurang lebih 72 tahun kemerdekaan dalam bentuk kedaulatan bernegara telah diwariskan kepada generasi bangsa Indonesia selanjutnya. Akan tetapi disaat yang sama ada bentuk kedaulatan lain yang terganggung dan terusik. Indonesia merdeka dari segala bentuk penjajahan, dan masuk dalam persaingan politik identitas para anak bangsa. Kedaulatan terhadap keberagaman, kepelbagaian dan kemajemukan terus diganggu dan dibentur-bentukan. Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA) merupakan sebuah bentuk kedaulatan yang terus dipertanyakan. Seakan-akan bangsa Indonesia belum berdaulat sebagai bhinekka tunggal ika.
    Berbagai permasalahan yang tampak saat ini adalah bentuk dari ketidak saling percayaan, saling curiga dan keinginan untuk saling mendominasi. Dan ini sering dikaitkan dengan kebebasan dalam berdemokrasi. Tindakan kebebasan untuk berbicara dan menyampaikan pendapat ditempat umum, merupakan bentuk dari sikap berdemokrasi memperjuangkan identitas ditengah-tengah keperlbagaian. Hal ini seakan membuktikan kebenaran tesis Hutington, tentang terjadinya gelombang demokrasi dasyat. Dalam tesisnya, Hutington mengungkapkan tiga periode perkembangan demokrasi, yakni gelombang pertama pada kurun waktu 1828-1926, dimulai di Eropa yang dipicu oleh perkembangan di bidang sosial dan ekonomi industry. Gelombang kedua terjadi pada kurun waktu 1943-1962 dan penyebab utamanya faktor politik dan militer. Serta gelombang ketiga mulai tahun 1974, yang disebabkan oleh melemahnya legitimasi rezim otoriter. Perkembangan di bidang ekonomi, dan tekanan dari luar. Huntington memberikan gambaran mengenai strategi bagi para penggerak demokrasi untuk melakukan proses reformasi sistem otoriter, melalui beberapa strategi, antara lain: 1) Pejuang demokrasi haruslah mengamankan baris politik; 2) Mempertahankan legitimasi di belakang; 3) Memiliki strategi yang tepat untuk menghadapi kelompok yang konservatif; 4) Sedapat mungkin memegang kendali atas prakarsa politik; 5) Memberi dorongan bagi kelompok-kelompok oposisi yang memiliki keinginan kuat pada proses perubahan; 6) Menciptakan kesadaran bahwa demokrasi sebagai sebuah kemutlakan dalam mencapai keadaan yang lebih baik. Disini Huntington melihat proses ini sebagai bentuk arus demokratisasi yang melanda dunia secara luas dan mengakibatkan berjatuhannya rezim pemerintahan otoriter dan digantikan rezim yang demokratis (Hutington, 2001). Dalam konteks inilah, perlu sebuah bentuk pengawalan demokratisasi yang tepat, sehingga tidak terjadi chaos dalam masyarakat. Masyarakat harus mampu diarahkan kepada sebuah bentuk demokrasi yang bertanggung jawab, ketimbang sikap pesimis, apatis dan saling curiga dalam kehidupan berbangsa.
    Selain gelombang besar demokrasi, bangsa ini juga dihadapkan dengan munculnya arus globalisasi, yang menghadirkan generasi milenial. Kemajuan teknologi pada abad ke-20 telah banyak berdampak pada perubahan gaya hidup masyarakat (Palfrey et.al., 2005). Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi berupa media sosial juga banyak memberikan dampak pada kehidupan sosial serta gaya hidup terutama bagi generasi millennial (Zhang et. al., 2010 dan Wang et. al., 2011). Selalu tampil mengikuti trend dan “exist”, baik di dunia riil maupun media sosial, adalah salah contoh perubahan perilaku yang terjadi akibat perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Perubahan perilaku ini juga membawa dampak pada perubahan gaya hidup. Generasi millennial adalah sebutan bagi orang-orang yang lahir pada tahun 1980 hingga tahun 2000-an. Generasi millennial dikenal pula dengan sebutan lain, seperti “Generation Y”, “Net Generation”, “Gaming Generation”, “Generation Me”, dan istilah-istilah lainnya. Generasi millennial adalah generasi yang dibentuk pada saat perubahan mode ekonomi terjalin dengan perubahan teknologi, masyarakat, dan sistem pendidikan (Kelan & Lehnert, 2009). Generasi ini tumbuh saat dunia telah diubah oleh teknologi baru yang mengubah cara berkomunikasi, bekerja, dan bertukar informasi. Generasi ini berupaya membentuk masyarakat global yang memahami kebutuhan global, dan tidak terjebak dalam ruang-ruang sempit yang penuh keterbatasan.
    Kedua konteks diatas, menunjukkan bahwa nasionalisme bangsa Indonesia hadir dalam sebuah tantangan baru. Disatu sisi menempatkan demokrasi sebagai kekuatan baru dalam memperkenalkan kebebasan dari kekuasaan rezim otoriter, dan disisi lainnya menunjukan hadirnya generasi yang fleksibel dan bergerak berdasarkan arus teknologi dan globalisasi. Kemanakah gerakan mahasiswa akan diarahkan? Mampukan generasi milenial Indonesia mengawal kemerdekaan Negara Kesatuan Repbulik Indonesia, dalam konteks saat ini? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi indikator dalam mengukur gerakan mahasiswa di era saat ini.

Peran Gerakan Mahasiswa
Sejak munculnya arus demokrasi dunia, mahasiswa menjadi ujung tombak dalam demokrasi. Mahasiswa merupakan kelompok masyarakat terdidik yang menikmati kesempatan mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Pada perkembangan usianya kelompok masyarakat ini akan menuju pada suatu kematangan dan berproses menemukan jati diri, serta sebagai sebuah lapisan masyarakat yang belum banyak dicemari kepentingan-kepentingan praksis dan pragmatis. Gaya dan kedudukan pikiran mahasiswa masih beorientasi pada nilai-nilai ideal dan kebenaran. Karena orientasi idealis dan pembelaannya pada kebenaran, maka kelompok ini selalu dimasukkan ke dalam kelompok cendikiawan (Arief Budiman, 1983). Gerakan sosial politik mahasiswa umumnya berperan sebagai pembawa suara kebenaran dan kontrol sosial terhadap lingkungan sosial politik dan penyelenggaraan pemerintahan sebuah negara.
    Gerakan Mahasiswa mulai memainkan peranan dalam sejarah sosial sejak berdirinya universitas di Bologna,Paris dan Oxford pada abad Ke-12 dan abad Ke-13. Semboyan mereka saat itu adalah “Gaudeamus Igtiur, Juvenes Dum Sumus”, artinya: "Kita bergembira, selagi kita muda." Tidak bisa dipungkiri mahasiswa adalah elemen pembaharu yang membawa perubahan pada sebuah bangsa. Pada saat berjuang biasanya mahasiswa mengusung kata “idealisme” sebagai poros perjuangannya. Mahasiswa akan menjadi agen perubahan dengan berbekalkan idealisme dan usaha-usaha untuk menguasai ilmu yang dapat direalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Idealisme adalah sebuah pengejawantahan dari kematangan proses berpikir, dan tanggung jawab implementasinya di masyarakat.
Gerakan mahasiswa sehingga diberikan label sebagai agent of change, agent of control, iron stock, social control dan moral force. Hal ini menunjukan bahwa mahasiswa sebagai bagian masyarakat terdidik mesti merespon apa sebenarnya yang sedang terjadi di masyarakat. Oleh masyarakat, mahasiswa dianggap memiliki seperangkat ilmu pengetahuan yang dapat digunakan untuk “menilai kebenaran”. Oleh karena itu mahasiswa akan memiliki komitmen untuk memperjuangkan kebenaran itu. Sehingga apabila ada sesuatu yang tidak benar, mahasiswa akan fokus untuk memperbaikinya. Pendekatan mahasiswa adalah pendekatan yang ideal, gerakan yang ditujukan untuk kebenaran, keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Idealisme mahasiswa akan terusik apabila terdapat “penyimpangan” pada masyarakat.
    Menurut Yozar Anwar (1982), pada dasarnya gerakan mahasiswa merupakan gerakan budaya, karena ia memiliki kemandirian dan berdampak politik yang sangat luas. Oleh karena itu mereka tidak boleh cepat puas dengan hasil yang dicapai. Gerakan mahasiswa seharusnya senantiasa menggunakan asas kebenaran politik dan pengungkapan kebenaran publik sekaligus. Selain itu, budaya Indonesia yang cenderung cepat puas dengan keadaan dan tidak peduli dengan perkembangan karena sibuk sendirian, tidaklah patut menjadi paradigma gerakan mahasiswa. 
   Di Indonesia, gerakan mahasiwa mendapatkan peran yang sangat besar dalam perubahan wajah demokrasi bangsa ini. Hadirnya Serikat Boedi Oetomo pada 1908 dalam memperkenalkan nasionalisme bangsa Indonesia menuju perjuangan Indonesia merdeka, merupakan peranan dari para mahasiswa yang saat itu bersekolah di STOVIA. Selanjutnya pada peristiwa 1926 dan 1928, yakni Kongres Pemuda hingga melahirkan Supah Pemuda. Disana para mahasiwa memainkan peran lebih besar dalam menyatukan seluruh pemuda Indonesia, untuk merancang sebuah bangsa bersama, yang merupakan identitas baru yakni bangsa Indonesia. Identitas ini merupakan sebuah konteks idealisme para pemuda untuk berjuang bersama-sama melawan penjajahan dan kemiskinan saat itu. Selanjutnya pada tahun 1945, para pemuda menculik dan memaksakan proklamator, yakni Soekarn dan Muhamad Hatta, untuk membacakan naskah proklamasi, yang mana menunjukan kepada dunia, bahwa Indonesia merupakan sebuah negara yang merdeka. Pada konteks waktu selanjutnya, yakni pada masa orde lama, orde baru maupun reformasi, gerakan mahasiswa selalu menjadi pengawal perubahan. Mereka selalu menjadi yang pertama dalam memasuki sebuah era baru berbangsa dan bernegara. Gerakan ini digerakkan oleh semangat nasionalisme yang sama, yakni satunya kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan upaya untuk mencapai masyarakat yang adil, damai dan sejahtera.

Generasi Milenial
Generasi millennial adalah generasi yang dibentuk pada saat perubahan mode ekonomi terjalin dengan perubahan teknologi, masyarakat, dan sistem pendidikan (Kelan & Lehnert, 2009). Generasi ini tumbuh saat dunia telah diubah oleh teknologi baru yang mengubah cara berkomunikasi, bekerja, dan bertukar informasi. Sejauh ini, generasi millennial dipercaya sebagai kelompok generasi terbesar. Generasi ini adalah generasi yang memasuki rentang waktu generasi sebagai dewasa muda yang memasuki dunia kerja (Stafford and Griffis, 2008). Generasi millennial memiliki beberapa sifat substansial, yaitu spesial, tersembunyi, percaya diri, berorientasi tim, konvensional, tertekan, dan achieving. Stafford and Griffis (2008, h.13) mengatakan generasi ini spesial karena dipercaya generasi ini memiliki peran penting terhadap masa depan negara maupun orang tua mereka. Hal ini berkaitan dengan generasi millennial yang lahir pada masa “baby boom”. Sifat tersembunyi yang dimaksud di sini muncul karena generasi millennial adalah generasi yang menjadi fokus gerakan perlindungan anak dan pemuda yang menyeluruh sepanjang sejarah. Sifat percaya diri menunjukkan bahwa generasi millennial penuh dengan kepercayaan, optimis, serta terhubung dengan orang tua mereka dan masa depan. Generasi ini juga memiliki naluri tim yang kuat serta ikatan pertemanan yang kuat merupakan norma mereka. Generasi ini juga dikatakan konvensional karena mereka konservatif dalam perilaku dan tata nilai tetapi membawa sentuhan modern terhadap aturan dan standar sosial tradisional. Generasi millennial juga dapat direpresentasikan sebagai generasi yang tertekan karena dengan adanya rasa tekanan sebagai “trophy kid” (terkait dengan sifat pertama, spesial), mereka merasa bertanggung jawab untuk belajar dengan keras, menghindari risiko pribadi, dan unggul. Generasi ini juga dapat direpresentasikan dengan kata “achieving” karena generasi ini merupakan generasi yang fokus pada tanggung jawab yang tinggi serta capaian standar sekolah tinggi. Howe and Strauss (2007, h.4) bahkan menganggap generasi ini dalam sejarah Amerika Serikat dianggap sebagai generasi dengan tingkat pendidikan terbaik.
    Kemajuan teknologi pada abad ke-20 telah banyak berdampak pada perubahan gaya hidup masyarakat. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi berupa media sosial juga banyak memberikan dampak pada kehidupan sosial serta gaya hidup terutama bagi generasi millennial. Selalu tampil mengikuti trend dan “exist”, baik di dunia riil maupun media sosial, adalah salah contoh perubahan perilaku yang terjadi akibat perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Perubahan perilaku ini juga membawa dampak pada perubahan gaya hidup. Lazer (1964) dalam Brunso et. al. (2004) mengartikan gaya hidup sebagai istilah yang menggambarkan gabungan aktivitas, ketertarikan, dan pendapat. Gaya hidup atau lifestyle juga dapat diartikan sebagai cara khas seseorang melakukan urusannya (Horley et. al., 1988).
    Generasi millennial cenderung untuk mencapai target-target dalam hidupnya. Mereka selalu mencari peluang baru dan cenderung tidak ingin melewatkan apapun. Membangun jaringan yang luas adalah salah satu cara yang sering dilakukan generasi ini untuk bisa mendapatkan peluang baru. Sering kali untuk bisa membangun jaringan yang luas, generasi ini mengubah gaya hidup mereka agar bisa menyesuaikan diri dan masuk ke jaringan yang mereka anggap dapat membukakan peluang (Jayaraman, 2016).

Generasi milenial: Tantangan atau Peluang dalam Kekinian Gerakan Mahasiswa?

Dalam sebuah gerakan mahasiswa, idealisme merupakan kekuatan penggeraknya. Idealisme akan rasa nasionalisme kebangsaan Indonesia merupakan tonggak kekuatan perubahan dalam kehidupan demokrasi bangsa Indonesia. Apabila idealisme tersebut luntur dan goyah, maka gerakan mahasiswa akan menjadi tunggangan politis kepentingan tertentu. Hal inilah yang menjadi tantangan demokrasi saat ini. Arus baru globalisasi yang hadir bersama dengan generasi milenial, dapat menjadi sebuah tantangan sekaligus peluang dalam mengejawantahkan idealisme gerakana mahasiswa.
    Generasi milenial yang memiliki karakteristik khusus, seperti mandiri, selalu menggunakan target dan selalu penuh percaya diri, dapat menjadi peluang untuk menujukan bentuk gerakan baru dalam gerakan mahasiswa di Indonesia. Hadirnya komunitas Projo, Partai Solidaritas Indonesia, dan bentuk komunitas lainnya menampilkan wajah baru dalam berdemokrasi. Mahasiswa tidak selalu identik dengan turun ke jalan-jalan dan melakukan demonstrasi. Akan tetapi mereka dapat membuat sebuah komunitas dan menggerakannya lewat berbagai bentuk komunikasi di media sosial. Hal ini akan lebih berdampak pada besarnya gerakan sosial. Disisi yang lain, luasan arus gerakan tidak hanya mencakup pada satu lingkungan, satu propinsi, dan atau satu negara, namun akan meluas hingga pada beberapa negara. Teknologi membuat sebuah gerakan tidak hanya pada bentuk perjuangan, namun hingga pada bentuk pewujudannya. Para generasi milenial lebih senang untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan, ketimbang memperjuangkannya lewat demonstrasi. Banyak mahasiswa lebih senang meleburkan diri pada aktivitas entrepreneurship dan membangun social entrepreneurship, ketimbang menjebakkan diri dalam organisas-organisasi gerakan kemahasiswaan. Tindakan-tindakan seperti ini, akan melemahkan gerakan mahasiswa yang bersifat organisatoris, akan tetapi memperkuat gerakan mahasiswa sebagai sebuah sistem raksasa yang dapat dilakukan oleh siapapun.
    Mahasiswa secara individu mau untuk melakukan perubahan yang besar. Mereka tidak mau terjebak pada rutinitas organisasi, yang lebih banyka berdiskusi dan mengatur strategi gerakan. Secara individu mereka merumuskan tujuan, membuat strategi, membangun sistem dan menggerakannya sebagai bagaian dari tanggung jawab idealisnya. Dan bentuk gerakan mahasiswa secara individual seperti ini telah tampak di bebrapa tempat di Indonesia. Ada mahasiswa yang lebih senang ikut dalam program mengajar untuk negeri hingga ke pelosok-pelosok daerah, ketimbang memikirkan strategi untuk membuat masyarakat terdidik. Ada mahasiswa yang bersama karang taruna desa membangun sebuah komunitas social entrepreneurs untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa tersebut, ketimbang berdemonstrasi memperjuangkan kenaikan upah. Ada mahasiswa yang membuat aplikasi untuk membantu distribusi produk masyarakat ekonomi mikro, ketimbang berdiskusi tentang kebijakan-kebijakan ekonomi negara. Ada mahasiswa yang langsung meleburkan diri ke dalam partai-partai politik, untuk menyalurkan idealismenya, ketimbang ikut dalam diskusi-diskusi tentang politik. Hal-hal tersebutlah karakteristik dari gerakan mahasiwa di era milenial saat ini. Mereka lebih senang untuk menunjukan eksitensinya secara langsung dalam bentuk gerakan individual, ketimbang masuk dalam kelompok-kelompok gerakan mahasiswa yang suadh ada. Hal ini menjadi peluang besar dalam mengawal arah bangsa Indonesia, dalam mewujudkan cita-cita berbangsa.
    Akan tetapi hadirnya generasi milenial dapat menjadi sebuah tantangan baru juga. Generasi ini bisa dapat melihat diri sendiri lebih utama, ketimbang tujuan masyarakat banyak. Eksistensi lebih berpusat pada diri individu, ketimbang idealisme luhur sebuah bangsa. Hal inilah tantangan dari generasi milenial. Kita dapat melihat di kafe-kafe dan tempat tongkrongan, banyak terdapat para mahasiswa yang asyik dengan aktivitas rekreasi mereka. Mereka tidak dipusingkan dengan kemiskinan yang terjadi dimasyarakat, ketidak adilan di masyarakat dan kebobobrokan sebuah pemerintahan. Mereka lebih asyik dengan dunia mereka sendiri, games, bertualang, eksis di dunia maya, dan tindakan lainnya yang bersifat kesenangan individual. Idealisme dipandang sebagai tujuan pribadi dan bukan tujuan masyarakat. Keinginan untuk memperoleh teknologi, keinginan untuk tampil didepan umum, keinginan untuk memenangkan kompetisi, keinginan untuk menjadi warga negara global dan keinginan lainnya yang merupakan bentuk dari pemujaan diri sendiri, menjadi idealisme yang mereka pegang. Hal ini akan menjadi tantangan bagi gerakan mahasiswa saat ini.
    Kehadiran generasi milenial dalam memperkaya dinamika kebangsaan harusnya disyukuri. Generasi ini akan menciptakan gerakan arah bangsa dengan gaya dan karakteristiknya sendiri. Kekuatan jaringan dan moral kemanusiaan yang tinggi, akan menjadikan generasi ini sebagai penggerak yang kaya akan strategi. Nasionalisme bagi generasi ini adalah nasionalisme yang menuntut Indonesia sebagai satu bangsa. Suku-suku bangsa di dalamnya, bukanlah identintas penghalang, namun menjadi pemersatu. Keinginan untuk bertualang dan berkreasi, akan memampukan generasi ini, untuk menemukan formula baru dalam memperkenalkan bangsa Indonesia kepada seluruh masyarakat Indonesia dan bahkan masyarakat global. Kekayaan bangsa akan menjadi ruang untuk menunjukan eksistensi di media sosial dan jejaring internet. Inilah uang menjadi peluang besar bagi bangsa Indonesia yang melibatkan generasi milenial dalam gerakan mahasiswa.
Dan apabila tantangan ini lebih besar dari peluang yang diberikan, maka tugas untuk mengawal kemerdekaan bangsa Indonesia akan semakin berat. Tujuan bernegara akan dibelokkan untuk menjadi tujuan eksistensi indentitas pribadi. Setiap individu mahasiswa akan menjebakkan dirinya menjadi warga negara global yang bertindak tanpa karakter etika kebangsaan. Dan hal ini akan menciptakan wajah Indonesia yang terpecah belah tanpa arah dan kejelasan.
    Kesadaran bahwa tiap orang memiliki nilai utama dalam dirinya yang sadar atau tidak menggerakkannya pada pilihan untuk tertuju pada apa yang paling dianggapnya tepat bagi hidupnya. Bisa dikatakan bahwa nilai-nilai adalah, segala sesuatu yang dipikir, dirasa, dan dilakukan, yang secara personal hal itu dianggap penting, berharga, bermakna, dan membahagiakan. Maka nilai utama adalah nilai diri yang paling menonjol dalam mengarahkan seseorang pada cara hidupnya. Nilai utama personal inilah yang akan selaluberjumpa dan berinteraksi dengan nilai utama yang dimiliki orang lain. Begitu seterusnya, hingga negosiasi nilai-nilai utama personal itu membentuk sebuah sistem nilai bersama dalam komunitas, menghasilkan karakter-karakter unik orang-orangnya, pun karakter komunitas tersebut.
    Untuk itu generasi milenial juga harus diperkenalkan pada pengakuan diri sebagai bangsa Indonesia. Sebagai orang yang mengaku diri Indonesia dan menerima konsensus mengarus utamakan Pancasila sebagai sistem nilai dalam berpikir dan berperilaku kebangsaan, idiologisasi atasnya, yang menempatkannya sebagai mekanisme untuk mendapatkan keuntungan atau menerima hukuman dalam kerangka pikir negara-bangsa, justru akan semakin kontra produktif dengan proses alamiahnya. Yang saya maksudkan adalah, sebuah sistem nilai dalam kehidupan berbangsa itu memang perlu dikelola. Dia penting tidak hanya sebagai identitas, namun juga sebagai penggerak utama perubahan sosial yang dikehendaki bersama. Jadi, ketika perubahan sosial yang dihendaki bersama –katakanlah– telah ditetapkan secara idiologis dalam arah bernegara, maka sistem nilai itu tidak begitu saja bisa digunakan sebagai satu-satu alat untuk mencapainya. Dengan kata lain, sebuah bangsa bisa terbangun dari akumulasi sistem nilai bersama yang menguat dan menghasilkan karakter tertentu dan selanjutkan menjadi bangunan identitas tertentu, namun sebuah sistem politik bernegara –seideal apapun itu– tidak pernah bisa menghasilkan sebuah sistem nilai yang dengan mudah dapat segera diinternalisasi menjadi nilai komunitas seluas bangsa apalagi menjadi nilai personal. Pancasila adalah sistem nilai sebuah bangsa yang bernama Indonesia. Progresifitasnya terletak pada legitimasinya untuk mempertanyakan sistem nilai komunitas di bawahnya dan sekaligus sistem nilai personal warganegaranya. Namun transformasi seperti itu hanya akan nampak produktif jika tidak dijadikan alat politik kekuasaan negara namun tetap sebagai gerakan budaya yang terus menguji ketahanan komunitas yang ada di dalamnya. Dengan memahami hal tersebut, maka generasi milenial akan diorbitkans secara lebih tepat dalam sebuah gerakan sosial.
    Dengan demikian memahami gerakan mahasiswa ditengah-tengah keberadaan generasi saat ini adalah sangat penting. Tahun 1908, 1928, 1945, 1966, dan 1998 bukanlah tahun generasi milenial. Pada tahun-tahun tersebut. Gerakan mahasiswa memiliki arah dan corak gerakan yang sama. Akan tetapi memasuki tahun 2000-an, generasi milenial dapat menjadi peluang menghadirkan wajh baru gerakan mahasiswa, akan tetapi disaat yang sama, apabila tidak diolah secara baik, akan menghancurkan arah bangsa. Untuk itu idealisme nasionalisme bangsa Indonesia, haruslah terus diinternalisasi kedalam jiwa-jiwa generasi milenial, sehingga peluang-peluang akan lebih banyak didapatkan dalam mewarnai perubahan arus demokrasi di Indonesia.

Penutup
Nasionalisme Indonesia haruslah terus diperjuangkan dalam arus demokrasi. Dan gerakan mahasiswa haruslah terus mengawal nasionalisme tersebut, agar tidak tergerus pada tujuan kepentingan pribadi atau sekelompok orang. Akan tetapi tetap menjadi bagian dari arak-arakan gerakan mahasiswa di dalam berbagai lintasan waktu.
    Generasi milenial merupakan peluang besar dalam menunjukan wajah baru gerakan mahasiswa di tengah-tengah tantangan nasionalisme Indonesia. Beberapa kelompok masyarakat terdidik ini, telah menunjukan bentuk-bentuk baru dalam mewujudkan cita-cita berbangsa. Generasi inilah yang dapat menunjukan strategi-strategi baru dalam gerakan mahasiswa. Dimana strategi tersebut bisa akan lebih efesien, namun lebih tepat sasaran. Generasi milenial, kadangkala tidak terjebak untuk memperjuangkan cita-cita bernegara. Namun, kadangkala mereka menjebakkan diri untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Untuk itu dengan memahami karakteristik demokrasi, gerakan mahasiswa dan kekhasan generasi milenial, maka kelompok intelektual masyarakat, akan terus menjadi agent of change dan stock iron dalam bangsa Indonesia.

Daftar Pustaka

  • Anwar, Yozar, Pergolakan Mahasiswa Abad Ke-20: Kisah Perjuangan Anak-Anak Muda Pemberang. Jakarta, Sinar Harapan, 1981.
  • Anwar, Yozar. 1982. Protes Kaum Muda!. Jakarta: PT Variasi Jaya.
  • Asep Setiawan, Asep (diktat), Gerakan Sosial, Jurusan Ilmu Politik, FISIP UMJ, Jakarta, 1998.
  • Berger, Peter L. dan Luckmann, Thomas, Tafsir Sosial Atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta, LP3ES, 1990.
  • Brunso, K., Scholderer, J., and K. G. Grunert, Closing the Gap between Values and Behavior— A Means–End Theory of Lifestyle, Journal of Business Research, Volume 57, Issue 6, Article 13, 2004.
  • Budiman, Arif, Peranan Mahasiswa sebagai Inteligensia dalam Cendekiawan dan Politik, Jakarta, LP3ES, 1984.
  • Fakih, Mansour, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, 1966.
  • Held, David, Models of Democracy (terj), The Akbar Tandjung Institute, Jakarta, 2006.
  • Huntington, Samue P., Gelombang Demokratisasi Ketiga, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2001.
  • Horley, J., Carroll, B. and B.R. Little, A Typology of Lifestyle, Social Indicators Research, Volume 20, Issue 4, 1988.
  • Howe, N. and W. Strauss, Millennials Go to College. 2nd ed., Life Course Associates, Virginia, 2007.
  • Jayaraman, G, The Urban Poor You Haven’t Noticed: Millennials Who’re Broke, Hungry, But On Trend”, BuzzFeed, 2016 <https://www.buzzfeed.com/gayatrijayaraman/broke-hungry-and-on-trend?utm_term=.vgP1G6Oxp#.vvL5aQDjb> diakses pada 8 November 2017 pukul 15.30 WIB.
  • Kelan, E. and M. Lehnert, The Millennial Generation: Generation Y and the Opportunities for a Globalised, Networked Educational System, Beyond Current Horizons, Education Department University of Bath, 2009.
  • Stafford, D.E. and H.S. Griffis, A Review of Millennial Generation Characteristics and Military Workforce Implications, CNA Corporation, Virginia, 2008.
  • Stein, C. H., Hoffman, E., Bonar, E. E., Leith J. E., Abraham, K. M., Hamill, A. C., Kraus, S. W., Gumber, S., and W. R. Fogo, The United States Economic Crisis: Young Adults’ Reports of Economic Pressures, Financial and Religious Coping and Psychological Well-Being, Journal of Family and Economic Issues, Volume 34, Issue 2, Article 5, 2013.
  • Soulez, C. G. and S. Soulez, On the Heterogeneity of Generation Y Job Preferences, Employee Relations, Volume 36, No. 4, 20
(Materi ini disusun dan dibawakan oleh Ricky Arnold Nggili, S.Si-teol., MM, dalam kegiatan LMKM UKSW 2017, pada Sabtu 10 November 2017 pukul. 07.00–10.00 WIB, di Bumi Perkemahan JAVA, Muncul, Kabupaten Semarang) 

Link tulisan terkait:
1 komentar

1 komentar

  • dikares
    dikares
    3 Januari 2019 pukul 10.27
    Paling sebel kalo generasi y / milenial di cap buruk di mata masyarakat..
    pasti langsung sensi gw hahahahaha..
    sekalian tanya donk temans2, kira investasi untuk milenial ini cocok ga ya buat kita2 kaum milenial? (sorry link aktif, bukan endorse atau gimana, cuma nanya pendapatnya rekomen apa ga)
    jenis investasi untuk generasi milenial
    Reply